Mar 15, 2013

Kraton / Makam Kota Gede

Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Jogja / Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Candi Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.
Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.
Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.
Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.

Kotagede merupakan sebuah kawasan yang terletak sekitar 10 km sebelah selatan Kota Yogyakarta. Dahulu, kawasan Kotagede merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam pada pertengahan abad XVI M. Di kawasan ini terdapat kompleks makam raja-raja Mataram, yang menjadi tempat dimakamkannya Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam.
Kompleks Makam ini, berada sekitar 50 m sebelah selatan Pasar Gede, Kecamatan Kotagede. Selain terdapat makam Panembahan Senapati, di kompleks pemakaman ini juga terdapat makam keluarga raja lainnya. Di antaranya adalah, Ki Ageng Pemanahan yang merupakan ayah dari Panembahan Senapati, Nyai Ageng Nis dan P. Djoyo Prono yang merupakan eyang dari Panembahan Senapati, Sri Sultan Hamengku Buwono II, dan juga Pangeran Adipati Pakualam I.
Untuk memasuki kompleks makam para raja ini, pengunjung akan melewati empat gapura terlebih dulu. Gapura pertama merupakan bangunan yang berbentuk padaruksa, yakni sebuah bangunan gapura yang memiliki atap penutup, yang menghubungkan kedua sisi bangunan pembatas. Di antara gapura pertama menuju gapura kedua, pengunjung akan melihat Bangsal Duda. Bangsal ini, dipayungi oleh pohon beringin besar dan rindang, yang kerap disebut Waringin Sepuh. Konon, waringin sepuh ini ditanam oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, pada saat sebelum Kotagede dibangun. Daun-daunan dari pohon ini, oleh masyarakat setempat dipercayai memiliki tuah tersendiri. Dua helai daun yang jatuh dalam kondisi terbuka dan tertutup, dipercaya dapat menjadi bekal keselamatan dalam perjalanan.
Melewati gapura kedua, terdapat sebuah tembok yang tingginya sekitar dua meter, dengan jalan di kedua sisinya. Tembok ini menghalangi pandangan pengunjung dari gapura ketiga. Melewati gapura ketiga, pengunjung dapat melihat kompleks Masjid Agung, dimana di sekelilingnya terdapat rumah para abdi dalem. Masjid Agung ini dibangun oleh Sultan Agung, cucu dari Panembahan Senapati. Di sebelah barat Masjid inilah, terdapat sekitar 720 makam keluarga kerajaan Mataram Islam.


Giring Paliyan

Makam Ki Ageng Giring III merupakan makam pepunden Mataram yang diyakini oleh sementara masyarakat sebagai penerima wahyu Karaton Mataram. Makam kuna itu terletak di Desa Sada, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, atau sekitar 6 kilometer ke arah barat daya dari kota Wanasari.
Menurut Mas Ngabehi Surakso Fajarudin yang menjabat jurukunci makam Giring, disebutkan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang keturunan Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup pada abad XVI. Dari perkawinannya dengan Nyi Talang Warih melahirkan dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wanakusuma yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Pencarian wahyu Keraton Mataram itu konon atas petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring disuruh menanam sepet (sabut kelapa kering), yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan (buah kelapa muda). Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di Kembang Semampir (Kembang Lampir), Panggang, Gunung Kidul.
Menurut wisik 'bisikan gaib' yang didapat, air degan milik Ki Ageng Giring itu harus diminum saendhegan (sekaligus habis) agar kelak dapat menurunkan raja. Oleh karenanya Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar kehausan sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum (saendhegan). Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, Ki Ageng Pemanahan yang baru pulang dari bertapa di Kembang Lampir singgah di rumahnya, dalam keadaan haus ia meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali minum.
Betapa kecewa dan masygulnya perasaan Ki Ageng Giring melihat kenyataan itu sehingga dia hanya bisa pasrah, namun ia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ke tujuh.
Versi lain menyebutkan bahwa Ki Ageng Giring ketika tirakat memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah gowang konon berasal dari suasana batin yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan oleh karena telah kedahuluan Ki Ageng Pemanahan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ke tujuh.
Hal itu berarti setelah keturunan Ki Ageng Pemanahan yang ke-6, atau menginjak yang ke-7, ada kemungkinan bagi keturunan Ki Ageng Giring untuk menjadi raja. Apakah Pangeran Puger menjadi raja setelah 6 keturunan dari Pemanahan ?
Puger menjadi raja Mataram setelah mengalahkan Amangkurat III. Jika angka 6 dianggap perhitungan kurang wajar, yang wajar adalah 7, maka dapat dihitung Raden Mas Martapura yang bertahta sekejap sebelum tahtanya diserahkan ke Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Jadi pergantian keluarga berlangsung setelah 7 raja keturunan Ki Ageng Pemanahan.
Bukti bahwa Puger memang keturunan Giring dapat dilihat dalam Babad Nitik Sultan Agung. Babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang pendeta yang sakti dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggala-lah yang dikembalikan ke Amangkurat I (ditukar) dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.
Sudah ditakdirkan bahwa Amangkurat III, putera pengganti Amangkuat II berwatak dan bernasib jelek Terbukalah jalan bagi Pangran Puger untuk merebut tahta.
Dengan demikian, benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring-lah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Namun ini cukup menjadi dalih bahwa Puger alias Paku Buwana I adalah raja yang berdarah Giring.
 

Turgo

Desa wisata Turgo merupakan desa yang berada di kawasan lereng Merapi, tepatnya di Padukuhan Turgo, desa Purwobinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Dusun Turgo banyak menyimpan potensi wisata, khususnya untuk wisata pedesaan.

Letak Desa wisata Turgo di lereng Merapi menjadikan turgo kaya akan wisata alam yang cukup menarik untuk dikunjungi. Kita dapat menikmati indahnya panorama gunung Merapi yang terkenal sebagai gunungapi aktif di dunia. Selain gunung Merapi dapat juga dinikmati keindahan Gunung Turgo yang terletak di lereng Merapi bagian selatan. Aktivitas yang dapat dilakukan di hutan Merapi antara lain tracking dan pengamatan flora fauna. Wisatawan dapat menjelajahi desa, hutan Merapi dan sungai Boyong. Selain itu wisatawan dapat juga melihat puing-pung rumah yang terkena awan panas akibat letusan gunung Merapi tahun 2010  Aktivitas tracking dipandu oleh pemandu. Pada umumnya 1 orang pemandu memandu maksimal 10 orang.

Wisata ritual ini berkaitan dengan petilasan Syeh Jumadil Qubro yang terdapat di Gunung Turgo. Tempat ini dikeramatkan oleh masyarakat Sleman dan sekitarnya. Pada tanggal 1 Syuro setiap tahunnya masyarakat Dusun Turgo melakukan upacara tradisional budaya berupa kirab sesaji ( berupa wulu wetu / hasil panen sawah, kebun) dengan route dari mata air ke mata air dan berakhir di sekitar petilasan Syeh Jumadil Qubro.

Disana juga ada kesenian tradisional Jathilan (Kuda Lumping) yang bisa dimainkan setiap saat sesuai permintaan. Kesenian jathilan sendiri merupakan kesenian tradisional yang berupa tarian dengan menggunakan peraga kuda kepang dengan diiringi musik gamelan dan lagu-lagu daerah. Setiap pementasan terdiri dari beberapa babak yang masing-masing memperagakan kisah perang saudara. Biasanya para penari dimasuki oleh roh halus sehingga tarian mereka dikendalikan oleh roh halus tersebut (intrance).

Laras madyo adalah kesenian tradisional yang pada awalnya merupakan kesenian Islam dari Kasunanan Surakarta yang mempunyai misi dakwah agama Islam. Kesenian tersebut menampilkan lagu-lagu Islami yang dikemas dalam bentuk tembang jawa (gambuh, kinanthi, dandang gulo, dsb) dengan diiringi dengan alat musik rebana. Kesenian ini ditampilkan secara berkelompok dimana pelantun yang tampil sekaligus memainkan musik.

Sloko adalah kesenian tradisional sejenis laras madyo yang digunakan oleh agama nasrani untuk misi agama, sehingga syair lagu/tembangnya bernuansa kerohanian nasrani.

Untuk mencapai desa wisata Turgo yang berjarak 17 km dari ibu kota Kabupaten Sleman dapat ditempuh dalam waktu 25 menit. Kondisi jalan aspal dan jalan tanah ketika sudah memasuki Dusun Turgo

Melihat panorama di desa wisata Turgo terasa tidak lengkap bila wisatawan belum menikmatinya melalui gardu pandang yang tersedia. Dari gardu pandang  ini wisatawan dapat melihat dengan lebih jelas panorama perbukitan Turgo dan hamparan wilayah desa wisata Turgo.

Desa wisata Turgo yang berada di lereng gunung Merapi termasuk daerah rawan bencana Merapi, oleh karena itu di tempat tersebut dilengkapi ruang lindung darurat dengan luas 12 m2.

Gua Kiskenda

Goa Kiskendo adalah goa alam di pegunungan Menoreh yang terletak 1200 m di atas permukaan laut yang berhawa sejuk, tepatnya di desa Jatmulyo, Kecamatan Girimulyo. Goa ini terletak sekitar 35 km arah barat laut Yogyakarta di atas bukit utara Kabupaten Kulon Progo yang dapat ditempuh melalui jalan kecil beraspal. Hanya kendaraan beroda empat berukuran kecil saja yang dapat sampai ke gua ini. Bagi Anda yang datang dengan bis besar harus berhenti di desa Niten, dekat kantor kecamatan Giri Mulyo, sekitar 8 km dari gua.
Tidak jauh dari mulut goa Kiskendo terdapat Goa Sumitro yang mempunyai dua mulut vertikal dan horizontal yang mengalir sungai bawah tanah yang jernih. Objek wisata ini sangat cocok untuk kegiatan perkemahan karena didukung dengan adanya lahan yang luas dengan udara yang nyaman. Goa Kiskendo yang terletak di desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulya, dapat dicapai dari yogyakarta dengan jarak kurang lebih 38 km atau kurang dari 21 km dari kota wates. Sepanjang Goa Kiskendo dapat menikmati pemandangan alam pegunungan yang mempesona. Memasuki gua Kiskendo, pengunjung akan disambut oleh keindahan stalaktit dan stalagmit seperti gua batu kapur pada umumnya. Menurut legenda dahulu gua tersebut merupakan istana 2 raksasa bernama Maesosuro dan Lembusuro yang dikalahkan oleh Subali seperti yang dilukiskan pada relief di depan gua.

Taman wisata ini terletak 35 kilometer di sebelah Barat kota Yogyakarta, di pegunungan Menoreh. Taman Wisata ini terdiri dari Goa Kiskendo, Goa Sumitro dan Watu Blencong . Merupakan goa alam di pegunungan Menoreh yang terletak 1200 m di atas permukaan laut yang berhawa sejuk, dari bentuk serta keadaannya sangat serupa dengan apa yang yang tersirat dalam legenda dalam legenda Istana Goa Kiskendo (yang merupakan fragmen dari cerita Ramayana ), tempat tinggal Raksasa Mahesasura yang berkepala kerbau dan Lembusura yang berkepala sapi.Dalam kisah pewayangan, di tempat ini terjadi pertempuran antara Subali Sugriwa dengan Mahesasura dan patih Lembusura yang menghuni goa ini.Di samping itu keadaan-keadaan geologis dari goa-goa yang ada di daerah berbatu kapur,Di dalam goa Kiskendo ini terdapat banyak stalaktit dan stalagmit yang aneh namun indah bentuknya.Di dalam goa ini mengalir sungai di bawah tanah yang dalam cerita pewayangan, dan dalam pertempuran antara Subali; Sugriwa dan Mahesasura ; Lembusura, mengalirkan air berwarna merah dan putih.   

Di dalam goa ada beberapa tempat sakral yang biasa digunakan untuk kegiatan spiritual. Antara lain Pertapan Kusuma,  Pertapan Ledek, Pertapan  Santri Tani.

Selama perjalanan menuju gua, nikmatilah pemandangan indah diantara lembah, tanah pertanian yang hijau, dan rumah-rumah tradisional pedesaan sederhana yang sayang untuk tidak diabadikan.

Obyek Wisata Gua Kiskendo sebenarnya merupakan sebuah komplek yang terdiri dari beberapa tempat diantaranya :

  • Selangsur yaitu tempat pertempuran antara serdadu kerajaan kiskendo dengan subali.
  • Sepranji yaitu sebuah tempat yang digunakan sebagai peternakan pada zaman kerajaan kiskendo.
  • Babat Kandel, yaitu batu-batuan yang menyerupai usus perut manusia.
  • sawahan,yaitu tempat menanam padi.
  • Selumbung atau tempat penyimpanan makanan kerajaan kiskendo
  • Gua seterbang
  • Lidah Mahesosuro yaitu berupa batu yang menyerupai lidah,konon batu tersebut merupakan lidah dari mahesosuro yang dipotong oleh subali agar tidak hidup kembali.
  • Kerato Sekandang,merupakan pusat kerajaan kiskendo dan disinilah tempat pertempuran subali melawan mahesosuro dan lembusuro.
  • Lumbung kampek,merupakan tempat penyimpanan barang-barang berharga dari kerajaan kiskendo.
  • Pertapaan santri tani,yaitu tempat yang digunakan untuk bertapa agar hasil tani melimpah.
  • Sumelong,berupa sebuah lubang yang bisa menembus ke atas.
  • Pertapaan Kusuman, yaitu sebuah tempat yang digunakan untuk bertapa agar memiliki derajat yang lebih tinggi.
  • Padasan,yaitu sumber mata air pada masa kerajaan kiskendo.
  • Pertapaan subali, yaitu sebuah tempat yang digunakan subali untuk bertapa sebelum perang melawan mahesosuro dan lembusuro.

Parangkusumo

Nuansa sakral akan segera terasa sesaat setelah memasuki kompleks Pantai Parangkusumo, pantai yang terletak 30 km dari pusat kota Yogyakarta dan diyakini sebagai pintu gerbang masuk ke istana laut selatan. Wangi kembang setaman akan segera tercium ketika melewati deretan penjual bunga yang dengan mudah dijumpai, berpadu dengan wangi kemenyan yang dibakar sebagai salah satu bahan sesajen. Sebuah nuansa yang jarang ditemui di pantai lain.
Kesakralan semakin terasa ketika anda melihat taburan kembang setaman dan serangkaian sesajen di Batu Hitam yang terletak di dalam Puri Cepuri, tempat Panembahan senopati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul dan membuat perjanjian. Konon Panembahan Senopati kala itu duduk bertapa di batu yang berukuran lebih besar di sebelah utara sementara Kanjeng Ratu Kidul menghampiri dan duduk di batu yang lebih kecil di sebelah selatan.
Pertemuan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul itu mempunyai rangkaian cerita yang unik dan berpengaruh terhadap hubungan Kraton Yogyakarta dengan Kraton Bale Sokodhomas yang dikuasai Kanjeng Ratu Kidul. Semuanya bermula ketika Panembahan Senopati melakukan tapa  untuk menyempurnakan kesaktian. Sampai di saat tertentu dalam tapanya, tiba-tiba di pantai terjadi badai, pohon-pohon di tepian tercabut akarnya, air laut mendidih dan ikan-ikan terlempar ke daratan.
Kejadian itu membuat Kanjeng Ratu Kidul menampakkan diri ke permukaan lautan, menemui Panembahan Senopati dan akhirnya jatuh cinta. Panembahan Senopati mengungkapkan keinginannya agar dapat memerintah Mataram dan memohon bantuan Kanjeng Ratu Kidul. Sang Ratu akhirnya menyanggupi permintaan itu dengan syarat Panembahan Senopati dan seluruh keturunannya mau menjadi suami Kanjeng  Ratu Kidul. Panembahan Senopati akhirnya setuju dengan syarat perkawinan itu tidak menghasilkan anak.
Perjanjian itu membuat Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pecahan Mataram memiliki hubungan erat dengan istana laut selatan. Buktinya adalah dilaksanakannya upacara labuhan alit setiap tahun sebagai bentuk persembahan. Salah satu bagian dari prosesi labuhan, yaitu penguburan potongan kuku dan rambut serta pakaian Sultan yang berkuasa dan berlangsung dalam areal Puri Cepuri.
Lelaku tapa Panembahan Senopati yang membuahkan hasil juga membuat banyak orang percaya bahwa segala jenis permintaan akan terkabul bila mau memanjatkan permohonan di dekat Batu Hitam. Tak heran, ratusan orang tak terbatas kelas dan agama kerap mendatangi kompleks ini pada hari-hari yang dianggap sakral. Ziarah ke Batu tersebut diyakini juga dapat membantu melepaskan beban berat yang ada pada diri seseorang dan menumbuhkan kembali semangat hidup.
Selain melawati Batu tersebut dan melihat prosesi labuhan, anda juga bisa berkeliling pantai dengan naik kereta kuda. Anda akan diantar menuju setiap sudut Parangkusumo, dari sisi timur ke barat. Sambil naik kereta kuda, anda dapat menikmati pemandangan hempasan ombak besar dan desau angin yang semilir. Ongkos sewa kereta kuda dan kusir sendiri tak terlampau mahal, hanya Rp 20.000 untuk sekali keliling.
Bila lelah, Parangkusumo memiliki sejumlah warung yang menjajakan makanan. Banyaknya jumlah peziarah membuat wilayah pantai ini hampir selalu ramai dikunjungi, bahkan hingga malam hari. Cukup banyak pula para peziarah yang menginap di pantai ini untuk memanjatkan doa. Bagi anda yang ingin merasakan pengalaman spiritual di Parangkusumo bisa bergabung dengan para peziarah itu untuk bersama berdoa.